BAB I
ETOS KERJA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.
Pengertian Etos
Kerja
Kamus
Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani; akar katanya
adalah ethikos, yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral. Dalam
bahasa Yunani kuno dan modern, etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa,
dan pikiran yang membentuk seseorang. Pada Webster's New Word Dictionary, 3rd
College Edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter; sikap,
kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat
dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.
Etika
tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun
mempunyai etika; ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang
dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi,
menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan
pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu,
bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya
adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan
pada bangsa lain tidak.
Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis tertentu, yang
tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang
menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu. Muncullah etos kerja Miyamoto
Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos
kerja bangsa-bangsa maju lainnya.
Bahkan
prinsip yang sama bisa ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda sekalipun pengertian
etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya berdisplin, bekerja keras,
berhemat, dan menabung; nilai-nilai ini ditemukan dalam etos kerja Korea
Selatan dan etos kerja Jerman atau etos kerja Barat.
B.
Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Etos
berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh
individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh
berbagai kebiasaan, pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari
kata etos ini dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian
akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam
etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan
sesuati secara optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerja yang sesempurna mungkin.
Dalam
al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan yang
sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. Etos kerja seorang muslim adalah semangat
untuk menapaki jalan lurus, dalam hal mengambil keputusan pun, para pemimpin
harus memegang amanah terutama para hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan
lurus tersebut sebagaimana Dawud ketika ia diminta untuk memutuskan perkara
yang adil dan harus didasarkan pada nilai-nilai kebenaran, maka berilah
keputusan (hukumlah) di antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang
dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah) kami ke jalan yang lurus.
C.
Pengertian Kerja
` Kerja dalam pengertian luas adalah
semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun
non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah
keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS
Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu.
Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi
seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh
asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan
bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis
dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan
di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada
Allah SWT.
D.
Pengertian
Kerja Menurut Perspektif Al-Qur’an
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan
tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada
bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan,
terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja
sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita
temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita
temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat al-Baqarah:
62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal
(perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan
al-Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu
(mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat
al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun
dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita
temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka,
‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya
dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur:
21.
6)
Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti
dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7)
Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah
seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul
khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang
serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada
juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya
firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan
Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara
kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam
surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah: 10)
Pengertian
kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia
ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini
adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik bekerja harian, maupun
bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini didasarkan pada realitas yang ada
di negara-negara komunis maupun kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat
menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi semacam ini pada akhirnya
melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan konflik antara kelompok
buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja
termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama
sekali tidak dalam Islam, konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian
namun demikian jika menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan
kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas
spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga
mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam
pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari
pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin;
mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para
pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka
yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin:
mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu
perusahaan dan pegawai negeri.
3) al-Kasbah:
para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli
seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un:
para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum
Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW
bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat
atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji disesuaikan dengan hasil
kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita dalam mengupah orang lain
disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan seseorang, sehingga dapat
memuaskan kedua belah pihak.
E.
Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang
melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam
memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan
selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan
kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam
bekerja. Sebagaimana
dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan
kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan
muatan ketaqwaan. Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk
mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh
diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan
Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya.
Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja
tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu
tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi
rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya
niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau
tidak mengerjakan sesuatu. Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya
yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal
kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa
tersakiti hatinya.
Taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan
jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman
berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan
pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan
individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai
etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja
merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya
setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan,
namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang
teguh oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental
sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan
amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan
sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya,
memiliki motivasi untuk menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja
dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang
berhubungan dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam.
Adapun
hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut :
- Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
- Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
Dilarang memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
- Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
- Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi
F. Manifestasi Kerja Untuk Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua
pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana menterjemahkan dan mengapresiasikannya dalam kegiatan
harian, mingguan dan bulanan. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu
mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di
kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam
kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut.
Artinya, setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan
dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini
akan memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika
seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa
yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari
kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh
kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka
mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia
akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tak lain adalah ibadah,
pengabdian kepada Yang Maha Suci. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja – dalam
bahasa populernya – secara profesional.
Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam
mungkin bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti
diungkapkan Al Qur’an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah.
Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam.
Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah kepada Allah
seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi
pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita.
Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara
optimal. Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda
Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan
atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam
membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu
dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang
sembelihannya itu.”
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks
hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan
jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih”
itu merupakan isyarat efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah
sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an.
Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya.
Selanjutnya Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia,
kemudian agar manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang
dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah kepada orang lain sebagaimana
Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa
setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia
melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri
karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal
dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik ini atau tidak
“menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.
G.
Karakteristik Pekerjaan Mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan
mendatang tak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam
berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan dan
menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan.
Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an sudah
memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi
dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh
mengetik. Dulua dengan memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi
sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts harus dimiliki
serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.
Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael
Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler
sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam
ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak lagi terletak pada properti atau
benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya manusia. Dan inti dari sumber
daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan
akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra.
Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat
Islam, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah
merupakan tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya
masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu
harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan
peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari
tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
H.
Komponen Dasar Etos Kerja
a. Iman dan Taqwa
Yang dinamakan iman adalah meyakini di dalam hati,
menyatakannya dengan lesan, dan malaksanakannya dengan perbuatan.[1][10] Kata taqwa (al-taqwa) dan kata-kata kerja serta kata-kata benda yang
dikaitkan dengannya memiliki tiga arti, menurut Abdullah Yusuf Ali pertama,
takut kepada Allah, merupakan awal dari ke’arifan. Kedua,
menahan atau menjaga lidah, tangan dan hati dari segala kejahatan. Ketiga,
ketaqwaan, ketaatan dan kelakuan baik.[2][11]
Setiap pribadi muslim harus menyakini bahwa nilai
iman dan taqwa akan terasa kelezatannya apabila secara nyata dimanifestasikan
dalam bentuk amal sholeh atau tindakan kreatif dan prestatif. Iman dan taqwa
merupakan energi batin yang memberi cahaya pelita untuk mewujudkan identitas
dirinya sebagai bagian dari umat yang terbaik.
Dalam Al-qur’an banyak memuat ayat yang manganjurkan
taqwa dalam setiap perkara dan pekerjaan. Ayat-ayat tentang keimanan selalu
diikuti dengan ayat-ayat kerja, demikian pula sebaliknya. Ayat seperti
“orang-orang yang beriman” diikuti dengan ayat “dan mereka yang beramal
sholeh”. Jika Allah SWT ingin menyeru kepada orang-orang mukmin dengan nada
panggilan seperti “Wahai orang-orang yang beriman”, maka biasanya diikuti oleh
ayat yang berorentasi pada kerja dengan muatan ketaqwaan, di antaranya,
“keluarkanlah sebagian dari apa yang telah kami anugerahkan kepada kamu”,
“janganlah kamu ikuti/rusakkan sedekah-sedekah (yang telah kamu keluarkan)
dengan olokan-olokan dan kata-kata yang menyakitkan” ; “wahai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah”.
Keterkaitan ayat-ayat tersebut
memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama etos kerja, apapun
bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan kerja
dengan iman berarti mengucilkan Islam dari aspek kehidupan dan membiarkan kerja
berjalan pada wilayah kemaslahatannya sendiri, bukan dalam kaitannya
perkembangan individu, kepatuhan dengan Allah, serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini
bahwa kerja mempunyai etos yang harus diikutsertakan di dalamnya, oleh karena
kerja merupakan bukti adanya iman dan parameter bagi pahala dan siksa.
Hendaknya para pekerja dapat meningkatkan tujuan akhir dari pekerjaan yang
mereka lakukan, dalam arti bukan sekedar mencari upah dan imbalan, karena
tujuan utama kerja adalah demi memperoleh keridhaan Allah SWT sekaligus
berkhidmat kepada umat. Prinsip inilah yang terutama
dipegang teguh oleh umat Islam, sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan
monumental sepanjang zaman.
Etos kerja yang disertai dengan ketaqwaan merupakan
tuntunan Islam. Hal ini telah dipratikkan oleh umat Islam pada masa yang
gemilang, ketika Islam mampu mendominasi dunia kerja dan mempengaruhi hati
manusia sekaligus. Sehingga seluruh aktifitas umat Islam tidak lepas dari
nilai-nilai keimanan.
2. Niat (komitmen)
Pembahasan mengenai pandangan
Islam tentang etos kerja barang kali dapat dimulai dengan usaha menangkap makna
sedalam-dalamnya sabda Nabi yang amat terkenal bahwa nilai setiap bentuk kerja
itu tergantung kepada niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi
(tujuan mencari ridha Allah) maka iapun akan mendapatkan nilai kerja yang
tinggi, dan jika tujuannya rendah (hanya bertujuan memperoleh simpati sesama
manusia belaka), maka setingkat tujuan itu pulalah nilai kerjanya tersebut.
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang
sesuai dengan dengan tinggi rendah nilai komitmen yang dimilikinya. Dan
komitmen atau niat adalah suatu bentuk pilihan dan keputusan pribadi yang
dikaitkan dengan sistem nilai (value system) yang dianutnya. Oleh karena
itu komitmen atau niat juga berfungsi sebagai sumber dorongan batin bagi
seseorang untuk mengerjakan sesuatu dengan sunggguh-sungguh.
Telah dikatakan bahwa niat atau komitmen ini
merupakan suatu keputusan dan pilihan pribadi, dan menunjukkan keterikatan kita
kepada nilai-nilai moral serta spiritual dalam pekerjaan kita. Karena
nilai-nilai moral dan spiritual itu bersumber dari Allah dengan ridha atau
perkenan-Nya, maka secara keagamaan semua pekerjaan dilakukan dengan tujuan
memperoleh ridho dan perkenan Allah itu. Oleh karena itu, sebaiknya
diberi penegasan bahwa pekerjaan yang dilakukan tanpa tujuan luhur yang
terpusat pada usaha mencapai ridho Allah berdasarkan iman kepadanya itu adalah
bagaikan fartamurgana. Yakni, tidak mempunyai nilai-nilai atau makna yang
suptansial apa-apa.
I.
Ciri - Ciri Etos Kerja Islami
Dan dalam batas-batas tertentu, ciri-ciri etos kerja islami
dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada umumnya banyak keserupaannya, utamanya
pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :
1. Baik
dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang
baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai
tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok.
2. Kemantapan
atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih.
3. Kerja Keras,
Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan dengan mujahadah
dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh
ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada
dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai
mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah
menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan, tinggal peran manusia
sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam
rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
4. Berkompetisi dan
Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam
kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan
Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada
Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram;
saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
5. Objektif (Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq, artinya
mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan
dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada kontradiksi antara
realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia kerja dan usaha
kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan, baik ketepatan
waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan tersebut
diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong atau menipu
6. Disiplin atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi
yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen, atau dalam
Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah merupakan
salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini adalah
dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari dasar
pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup seluruh
hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta, atau
bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial
manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang
sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu
pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
7. Konsisten dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran
sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan hasil dari
suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan
menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya
keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga
yang istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan
mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada
hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
- Percaya diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi dan kreativitas hanyalah terdapat
pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang terjajah akan terpuruk dalam penjara
nafsunya sendiri, sehingga dia tidak pernah mampu mengaktualisasikan aset dan
kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia miliki yang sungguh sangat besar
nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri sendiri merupakan hal
sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha pekerjaan.
9. Efisien dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan kekayaan. Jika orang
mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak benar. Yang dibenci
itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan mengumpulkannya untuk
jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak pada tempatnya, serta
tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf
(kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan
untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang
dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan
sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang
dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan
berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak bermanfaat.
BAB II
ISLAM KAFFAH
A. Pengertian Muslim
Pengertian muslim dalam arti bahasa adalah orang yang menyerah, yang patuh dan tunduk,
yang menyerahkan. Sedangkan menurut arti
istilah adalah orang yang menyerah dan
tunduk patuh lahir dan bathin kepada Allah dan menyerahkan jiwa, semua
miliknya, hidupnya, matinya dan semua
amalnya semata-mata kepada Allah. Dalam
surat Luqman dijelaskan yang artinya :
“Dan barangsiapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan.” (QS Luqman, 31: 22)
B.
Pengertian Kaffah
Dengan penuh
kasih sayang, Allah menyerukan kepada hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa
memeluk dan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, bukan secara
setengah-setengah. Seperti yang difirmankan-Nya:
Artinya
: “Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
telah keseluruhannya”.
Pemahaman secara kaffah dalam pemurnian ilmu sesuai
keasliann yang disampaikan nabi saw adalah juru selamat dunia akherat bagi umat
manusia. Tidak ada penambahan dan penafsiran sesuai kepentingan hajat hidupnya
dengan mengemukakan pendapat sebagai alibi pembenaran ajaran sesatnya.
Pengertian kaffah dalam risalah ini adalah pengamalan atas ilmu seutuhnya sesuai dengan yang tersurat dalam Al Qur’an
dan hadits nabi saw yang shoheh. Sebab nabi saw telah memperingatkan dalam sabdanya “ Wakulla
bid’atin dholalah.” artinya segala penambahan (diluar sunah nabi saw adalah
sesat.)” Sebagai contoh beberapa
bentuk penyimpangan oleh sebab kelalaian manusia, yang menyebabkan dirinya
menjadi tidak kaffah, Allah swt bersirman :
Artinya : Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. (QS Al
Baqoroh 204)
Di awal-awal
surat al Baqarah, Allah menceritakan
tentang karakteristik manusia yang digolongkan ke dalam tiga kelompok: Mukmin,
kafir dan munafik. Maka pada ayat yang mulia ini, Allah menyerukan kepada
mereka yang beriman itu untuk beristiqamah dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya, Islam yang bersih dari segala bentuk kekufuran dan kemunafikan.
Karena segala bentuk kekufuran dan kemunafikan itu adalah bagian dari amal dan
perbuatan syetan yang berusaha secara terus menerus untuk menggelincirkan
manusia ke dalam jurang kehancuran.
Ada
beberapa Imam yang memaknai kaffah diantaranya yaitu :
Imam ath Thabari menerangkan
makna ‘kaffah’ di dalam tafsirnya adalah :“Perintah melaksanakan seluruh
syari’at-syari’at-Nya (Islam) dan hukum-hukum hudud-Nya dengan tidak mengurangi
sebagiannya dan mengamalkan sebagiannya. Yang demikian itu dimaksudkan karena
‘kaffah’ itu merupakan sifat dari pada Islam, maka ini dapat ditakwilkan
“Masuklah kamu dengan menagamalkan seluruh ajaran-ajaran Islam, dan janganlah
kamu mengurangi sedikitpun dari padanya wahai ahli Iman dengan Muhammad dan
dengan apa yang ia datang dengannya.”
Al
Ustadz Sayyid Quthb rahimahullah beliau mengatakan: “Tatkala Allah menyeru
orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam Islam secara kaffah (total). Dia
juga mengingatkan mereka dari mengikuti langkah-langkah syetan. Karena di sana tidak ada kecuali dua arah. Masuk ke
dalam Islam secara kaffah atau mengikuti langkah-langkah syetan, Petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliyah, Jalan Allah
atau jalan syetan, Petunjuk Allah
atau kesesatan syetan. Dengan ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim mampu mengetahui
akan keberadaannya, sehingga tidak terombang-ambing, tidak ragu-ragu dan tidak
bingung di antara berbagai jalan dan arah.
Imam
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan
makna ayat yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Ialah : “Masuklah ke dalam ketaatan
seluruhnya.” Ia menyitir pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Abul ‘Aliyah, Ikrimah,
Rabi’ bin Anas, As-Suddiy, Muqatil bin Hayyan, Qatadah, Adh-Dhahhak, berkata
mereka bahwa makna ( كافة ) dalam ayat tersebut: “Beramallah dengan semua amal
& seluruh bentuk kebajikan”.
C. Pengertian dan
Pemahaman Islam Kaffah.
Islam kaffah maknanya adalah : Islam secara
menyeluruh, yang Allah ‘Azza wa Jalla perintahkan dalam Al-Qur`an surat
Al-Baqarah ayat 208. Perintah kepada kaum mu`minin seluruhnya.
Memeluk dan mengamalkan
Islam secara kaffah adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus
dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, di manapun dia, apapun
profesinya, di mana pun dia tinggal, di zaman kapan pun dia hidup, baik dalam
sekup besar ataupun kecil, baik pribadi atau pun masyarakat, semua masuk dalam
perintah ini : “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam
secara kaffah (menyeluruh).
Dua
ayat dalam surah Al-Baqarah, yang pertama pada ayat ke 208, dan kedua pada ayat
ke-185 merupakan dasar pembahasan kita pada topik ini.
Islam kaffah maknanya
adalah Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang
terkait urusan iman, atau terkait dangan dengan akhlak, atau terkait dengan
ibadah, atau terkait dangan mu’amalah, atau terkait dangan urusan pribadi, rumah
tangga, masyarakat, negara, dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. Ini makna Islam yang kaffah.Namun, sebelum
membahas tentang Islam yang kaffah : apa maknanya dan bagaimana bentuk riil
dari Islam yang kaffah ini? Sebelum kita mengetahui, seperti apa islam yang
kaffah tersebut, apakah sudah pernah ada penerapan Islam secara kaffah? Apakah
pernah agama Islam ini, sejak awal diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
hingga hari ini, pernahkah diterapkan secara kaffah ataukah belum Jawabannya adalah pasti : bahwa Islam sudah
pernah diterapkan secara kaffah. Islam secara kaffah sudah pernah dipahami dan
diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, yaitu generasi para shahabat Nabi
ridwanallahi ‘alahi jami’an baik secara zhahir maupun secara bathin.
- Secara zhahir :
tampak dalam berbagai amalan mereka, baik dalam urusan ibadah, akhlak, maupun
muamalah.
- Secara bathin : yakni dalam keikhlasan,
kebenaran dan kejujuran iman, dan takwa.
Semua itu telah
diterapkan para shahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam di bawah
bimbingan langsung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berkesinambungan
dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Ayat demi ayat turun, surat demi surat turun
untuk mereka dengan disampaikan dan diajarkan langsung oleh Rasulullah Shallahu
‘alaihi wa Sallam kepada mereka.
Ketika turun ayat
tentang ibadah, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam langsung
mempraktekkan ayat tersebut, yakni mempraktekkan bagaimana cara beribadah yang
dimaukan dalam ayat tersebut.
Ketika turun ayat
tentang iman, maka Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam pun merinci makna yang
terkait dengan iman tersebut.
Kehidupan beragama, atau agama
bagi kehidupan, atau hudan li al-nas ( petunjuk bagi umat manusia / Q.S.
Al-Baqarah: 185) terbangun dari satu kesatuan ajaran / kaffah (
menyeluruh ), Q.S. al-Baqarah : 208. Karena itu, penyampaian ajaran agama oleh Nabi SAW
meliputi dua bentuk:
Pertama, bentuk ta’lim (
pengajaran ); dalam Alqur’an banyak diungkap penyampaian ajaran agama melalui ta’lim
ini, seperti diungkap dalam Q.S. Al-Baqarah: 129, dengan tiga tahapan: تلاوة(bacaan produktif dan
responsive),تعليم (proses
pendewasaan dan pengembangan sikap/ pengajaran ), تزكية (bersih
diri dari berbuat kurang baik);Q.S. Jum’ah: 2; dan Q.S. Ali ‘Imran: 164; dan
ayat lainnya.
Kedua, bentuk uswah hasanah
( contoh yang baik ), sebagaimana diungkap Q.S. al-Ahzab : 21 yang artinya
: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Ta’lim(pengajaran) sangat diperlukan,
guna antisipasi kemajuan dan perkembangan kehidupan umat dan
pertanggungjawababan keilmuan, sekalipun karakter ilmu bersifat bayan (
penjelasan ) dan pemikiran; juga ciri ilmu itu detail dan parsial. Posisi ilmu dalam agama Islam sangat kokoh, menuntut
dikuasai oleh setiap umatnya, sekalipun dalam batas tertentu, karena
kemampuannya. Tidak dibenarkan satu keyakinan dan amal dalam Islam tanpa
didukung oleh argument keilmuan ( Q.S. al-Isra : 36 ). Sedangkan uswah
hasanah, memiliki karakter konprehenshif, menyeluruh ( kaffah );
sekalipun empiris, tetapi mengandung muatan spirit yang besar yang bisa
mempengaruhi orang lain.
Q.S.al-Ahzab: 21, di atas
mengisyaratkan hal tersebut dengan tegas, bahwa uswah hasanah itu
berhubungan erat dengan harapan pertemuan dengan Allah SWT, hari akhirat dan
banyak ingat kepada Allah SWT (dzikr Allah katsiran). Sekalipun terbatas, uswah hasanah bisa ada dan
dimiliki seseorang selain Rasul SAW, sekalipun orang tersebut tidak beragama,
bila ketiga potensi dasar dirinya berfungsi secara baik sebagai manusia. Tiga
potensi dasar diri itu, meliputi: 5 fungsi indra; 2 fungsi hati ( merasa baik
dan buruk, benar dan salah, bahagia dan sedih); dan 1 fungsi nurani
(jastifikasi terhadap kebenaran, kebaikan dan kebahagiaan hakiki dan
universal). Ketiganya, dipastikan hidup bersamaan dan saling berhubungan
dalam setiap apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang tsb.[3][6]
D. Karakteristik Muslim Kaffah
Karakteristik alami muslim kaffah adalah penting bagi kesejahteraan manusia, dengan
catatan hal tersebut tidak berlebih-lebihan dan dapat dikontrol. Kecenderungan
untuk membuktikan dirinya memotivasinya untuk mencari sisi yang terbaik dari
dirinya, kepuasan yang dia dapat dari kesadaran akan kualitas yang baik ia
miliki akan memotivasi dirinya untuk berusaha lebih keras untuk mencapai tujuan
yang lebih besar. Tetapi apabila hasrat untuk membuktikan diri ini belebihan
dan lepas kontrol, maka hasrat ini akan menjadi menjijikkan, penyakit berbahaya
yang menjadikan seseorang sombong dan takabur, dia akan meremehkan teman
sejawatnya, walaupun kualitas yang ia miliki jauh di bawah apa yang ia
ceritakan pada orang lain.
Sangat
jelas bahwa manusia itu cenderung lalai dan tidak peduli dari pada mencari apa
yang benar, karena lebih gampang terjatuh dari pada bangkit, dan lebih gampang
lalai dari pada mengikuti aturan. Sehingga manusia memerlukan sebuah pengingat untuk mengingatkan dia setiap
dia lupa dan setiap langkahnya tergelincir dari jalan yang lurus.
Allah
SWT tidaklah menurunkan agama Islam dari langit ke tujuh sebagai teori untuk
didiskusikan atau kalimat-kalimat suci yang dihafal dan diucapkan untuk mencari
keberkatan tanpa mengetahui artinya. Allah SWT menurunkan agama ini untuk mengatur hidup individu, keluarga, dan
masyarakat luas. Sebagai rambu-rambu yang akan mengeluarkan manusia dari
kegelapan menuju cahaya:
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu
Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi
kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan
(dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke
jalan yang lurus” (QS. Al Maidah 5:
15-16)
Allah mengingatkan kita
orang-orang yang beriman agar masuk kedalam Islam secara sempurna. Sempurna
dalam arti kata tidak terikuti langkah-langkah syaitan.
Ada beberapa ciri-ciri
orang yang masuk kedalam islamsecara menyeluruh dan sempurna:
1. Mengerjakan
atau meninggalkan sesuatu karena Allah Swt.
Tidak mau berbohong
bukan karena takut pada manusia tapi takut pada Allah. Mengerjakan shalat, puasa dan
berhaji bahkan berbuat baik demi mendapat keridhoan Allah. Apa yang tiak Allah sukai ditinggalkannya
karena takut murka Allah.
2. Tidak mengharap imbalan dan sanjungan
dari manusia.
Bagi manusia, jika kita
menguntungkan dia maka dia akan baik pada kita. Tapi jika kita tidak memberi
keuntungan lagi padanya maka dia akan menjadi musuh kita. Kata Imam Ghazali,
Orang-orang yang bersahabat karib tatkala memiliki kepentingan yang berbeda
akan menjadi musuh. Bahkan anak bisa menjadi musuh orang tuanya.
3. Sangat mengharap balasan dari Allah
Swt.
Apapun yang dilakukannya
dia selalu bergantung dan meminta pertolongan pada Allah. Sekecil apapun yang
dikerjakannya dia meminta kekuatan pada Allah. Pada waktu makan dia betul-betul
meminta agar apa yang dimakannya
akan membuat dia sehat. Ketika berkendaraan membaca bismillah mengharap
keselamatan dari Allah. Belajar dan berusahapun juga mengharap ridho Allah agar diberi kemudahan
dalam menghadapinya.
4. Sangat takut akan dosa dan azab Allah
Swt.
Orang yang mau menahan
nafsunya agar tidak tergelincir kedalam dosa. Dia tidak ingin memakan sesuatu
yang berasal dari sumber yang haram. Daging yang tumbuh dari yang haram,
nerakalah tempatnya. Ingatlah jika dewasa nanti pastikanlah kita bekerja
ditempat yang jelas sumber uangnya itu halal.
5. Sangat
harap pada buah kebaikan.
Seperti kisah
Ashabul Kahfi yang selamat terkurung dari dalam goa karena kebaikan yang pernah
dilakukannya. Oleh karena itu perbanyaklah amal kebaikan dan niatkan segala
sesuatu itu karena Allah. Semua itu insya Allah tidak sia-sia disisi Allah.
E.
Bentuk Kepribadian Muslim Kaffah
Pengertian kepribadian muslim adalah kepribadian yang
menunjukkan tingkah laku luar, kegiatan-kegiatan jiwa, dan filsafat hidup serta
kepercayaan seorang Islam. Lebih lengkapnya definisi kepribadian muslim itu
sendiri ialah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya baik tingkah laku
luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun filsafat hidup dan kepercayaannya
menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan dirinya kepada-Nya.
Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian merupakan suatu proses. Akhir dari perkembangan itu kalau berlangsung dengan baik akan menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis. Kepribadian itu disebut harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga kerja seimbang pula sesuai dengan kebutuhan.
Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur, bukanlah hal yang sekali jadi, melainkan sesuatu yang berkembang. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian merupakan suatu proses. Akhir dari perkembangan itu kalau berlangsung dengan baik akan menghasilkan suatu kepribadian yang harmonis. Kepribadian itu disebut harmonis kalau segala aspek-aspeknya seimbang, kalau tenaga-tenaga kerja seimbang pula sesuai dengan kebutuhan.
Teori kepribadian muslim dari para
cendekiawan muslim harus dapat mengungkapkan apa pengertian ”kepribadian
muslim” dan tidak perlu menjiplak sarjana psikologi barat karena mereka
berteori yang kreatif tetapi ”ngawur”.Untuk mengantisipasi teori psikologi
barat tersebut, Dr. Fadhil al-Jamaly menggambarkan kepribadian muslim yang
kaffah, yaitu sebagai muslim yang berbudaya dan tanpa akhir ketinggiannya. Dia hidup dalam lingkungan yang luas tanpa batas ke
dalamnya, dan tanpa akhir ketinggiannya. Dia mampu menangkap makna ayat yang
menyatakan ”Aku akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran-Ku di ufuk
langit dan didalam dirinya sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Allah
Swt itu benar (Muslim Sajadah :41). Kepribadian muslim seperti digambarkan di
atas mempunyai hubungan erat dalam suatu lingkaran hubungan yang meliputi : Allah Swt Alam, dan Manusia
Dengan membentuk kepribadian muslim yang kaffah, manusia banyak menggambarkan
dirinya dengan bimbingan petunjuk Ilahi dalam rangka mengemban tugasnya sebagai
khalifah Allah Swt di muka bumi, dan selalu melaksanakan kewajiban sebagai
hamba Allah melakukan pengabdian kepada-Nya.
Kepribadian yang seperti itu tidak ditemui dalam teori
barat. Karena psikologi barat banyak dipengaruhi oleh filsafat materialistis
yang menjadi tujuan hidup. Kalaupun ada mereka menyebut Tuhan, agama, dan
keyakinan akan tetapi semuanya itu terpisah dari pergaulan dan tata laksana
kegiatan duniawi.
Berangkat dari kepribadian muslim
yang kaffah, maka kepribadian tersebut terbagi dua macam, yaitu :
1. Kepribadian kemanusiaan (basyariyah).
Kepribadian kemanusiaan dibagi dua bagian, yakni :
a. Kepribadian
individu, yaitu meliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap dan tingkah
laku.
b. Kepribadian ummah,
yang meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa /
negara) muslim yang meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda
dengan ummah lainnya.
2. Kepribadian Samawi Yaitu corak
kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci al-Qur’an,
yang antara lain difirmankan oleh Allah Swt sebagai berikut yang artinya :
”Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena
jalan-jalan itu menceraikan kamu dari jalannya; yang demikian itu diperintahkan
Allah Swt supaya kamu bertaqwa.”
BAB III
MASYARAKAT MADANI
A.
Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan
penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali
mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia
oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani
merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.
Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil”
adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang
dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil
society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah
civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan
Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang
mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja
(Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil
Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah
istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”.
Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan
masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di
masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara
keduanya.
Perbedaan lain antara civil society
dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan
modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang
berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang
beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society
atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut
Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
B.
Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab,
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani
dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda
(kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah
kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari
rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.
C.
Masyarakat
Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah
yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat
di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat
Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan
sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan
memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
D.
Karakteristik
Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani,
diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.
Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan
program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.
Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5.
Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai,
artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara
kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong
menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12.
Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.
Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat
manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya
dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis
dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam
menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana
pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga
negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken
for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses
sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji,
masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat
madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis)
yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat
sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility
dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria tersebut
menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.
Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan
dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya
diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak,
kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.
Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,
hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya
jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat
madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada
masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme
yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain,
ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan
masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi
jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak
belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme
versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2. Pluralisme
versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas
dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter
etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah
ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok
lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras
minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan.
Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan
struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku
prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala
kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu
saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga
sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga
lainnya.
3. Elitisme dan
communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata
atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau
sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak
menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau
mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula
dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam
suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses
demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian
memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu
kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun
1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan
sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita
perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan
istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam
membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari
istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas
societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal
penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian
diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan
tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan
dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud
pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang
struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga
moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian
Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi
sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi
ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia
juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling
mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan
masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep
masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian
dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di
mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding,
Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya
adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan
dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan
sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi
seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran
Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan
masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara
tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun
yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan
yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat
Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga
keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya,
masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita
konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat
Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada
“masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan
analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat
Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang
diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di
luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al
Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham
masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani,
Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari
akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah
bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun
masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi
jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan,
agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah
konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep
yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu.
Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara
langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau
petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam
sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang
ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat madani
bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah
ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi
gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan
cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau
tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur
masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa
perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian
solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah
ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa,
Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk
Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada
tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya
semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang
tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu
kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya
merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran
surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas merupakan
sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam,
pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui
perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan
motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang
terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting
bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat
Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas
sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab
(2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu
sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.
Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman
Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah
terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat
nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi
refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial
masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi
modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
E.
Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam
al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
F.
Kualitas SDM
Umat Islam
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok
manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah
keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
G.
Posisi Umat
Islam
SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat
Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum
mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri
ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai
oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak
Islam.
H.
Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan
manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid
(keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain
dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau
hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik
mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari
tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal
ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau
relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya
melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus
dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam
sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan
sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua
prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang
berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun
boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan
sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai
satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di
depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama
terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau
tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang
memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.
Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
Artinya:
Dan janganlah kamu merugikan manusia
pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat
kerusakan;
Dalam komitmen Islam yang khas dan
mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan
dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep
Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang
keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang
sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah
sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya:
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu
dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan
(rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka
miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah.
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh
menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau
kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai
sedekah karena Alah.
Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk
mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan
bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di
antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan
Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi
utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus
berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia
akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: Depag RI.
Anonim,
1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Jakarta: Almadani.
Anonim,
1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto
Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Poerdarminto
WJS, 1987, Kamus Umum
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
Shihab,
Quraish 1998, Wawasan al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
Sunarto, Ahmad, dkk, 1993, Tarjamah Shahih Bukhari III, Semarang: CVAssyifa.
Syafi’I
Wagino, Asnan, 1995, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan
Harahab, Syahrin, 1996, Islam
Dinamis, Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Suito, Deny.
2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia:
Jakarta.
Mansur, Hamdan.
2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam. Depag RI: Jakarta.
Suharto, Edi.
2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam
Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS Bandung: Bandung.
Sosrosoediro,
Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI:
Jakarta.
Sutianto, Anen.
2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran Rakyat:
Bandung.
Suryana, A.
Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara: Bandung
Sudarsono.
1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN
Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Prenada Media: Jakarta.
minta pencerahan tentang etos kerja Gan?
BalasHapusApakah Anda membutuhkan kredit yang mendesak?
BalasHapus* Transfer Sangat Cepat dan Instan ke rekening bank Anda
Bayar kembali bulan setelah Anda mendapatkan pinjaman di bank Anda
akun bank
* Suku bunga rendah 2%
* Pembayaran jangka panjang (1-30) Tahun Panjang
* Pinjaman fleksibel dan gaji bulanan
*. Berapa lama untuk membiayai? Setelah mengajukan pinjaman
Anda mungkin mengharapkan jawaban awal kurang dari 24 jam
pembiayaan dalam 48 jam setelah menerima informasi yang mereka butuhkan
Dari para kru Di perusahaan pinjaman ROSSA STANLEY, kami adalah perusahaan pembiayaan yang berpengalaman yang menyediakan fasilitas pinjaman yang mudah, tulus, serius, korporasi, hukum dan publik dengan bunga 2%. Kami memiliki akses ke koleksi uang tunai untuk diberikan kepada perusahaan dan mereka yang memiliki rencana untuk memulai bisnis tidak peduli seberapa kecil atau besar, kami memiliki uang tunai. Yakinlah bahwa kesejahteraan dan kenyamanan Anda adalah prioritas utama kami, mengapa kami di sini untuk mengurus pemrosesan pinjaman Anda.
Hubungi perusahaan pinjaman yang sah dan dapat dipercaya dengan rekam jejak layanan yang memberikan kebebasan finansial kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Untuk informasi lebih lanjut dan pinjaman yang diminta untuk mengatur bisnis Anda, beli rumah, beli mobil, liburan, hubungi kami melalui,
E-mail resmi: rossastanleyloancompany@gmail.com
Instagram resmi: Rossamikefavor
Twitter Resmi: Rossastanlyloan
Facebook resmi: rossa stanley mendukung
CSN: +12133153118
untuk respon cepat dan cepat.
Silakan mengisi formulir aplikasi di bawah ini dan kami akan menghubungi Anda lagi, Kami tersedia 24/7
DATA PEMOHON
1) Nama Lengkap:
2) Negara:
3) Alamat:
4) Jenis Kelamin:
5) Status Perkawinan:
6) Pekerjaan:
7) Nomor Telepon:
8) posisi di tempat kerja:
9) Penghasilan Bulanan:
10) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan:
11) Jangka Waktu Pinjaman:
12) nama facebook:
13) Nomor Whatsapp:
14) Agama:
15) Tanggal lahir:
SALAM,
Mrs.Rossa Stanley Favor
ROSSASTANLEYLOANCOMPANY
Email rossastanleyloancompany@gmail.com